Udah pada nonton film Ayat Ayat Cinta di bioskop? Saya sudah. Dan tentu tidak nonton film AAC versi bajakan yang masih mentah dan sudah ma...
Udah pada nonton film Ayat Ayat Cinta di bioskop? Saya sudah. Dan tentu tidak nonton film AAC versi bajakan yang masih mentah dan sudah marak beredar itu. Film yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo dan diproduseri MD Pictures ini sudah dilaunching tanggal 18 Februari kemarin dan sejak itu, tiap malam ada special show di XXI Plasa Senayan. Sementara saya nonto baru malam minggu kemarin di Senayan City, saya nonton bareng-bareng sama Om Riyogarta beserta istri dan teman-temannya serta Suprie sebagai EO nya.
Film AAC merupakan salah satu film yang paling ditunggu di blogosphere eh filmosphere tanah air, terutama tentu bagi yang sudah membaca novel karya Kang Abik ini. Sudah banyak memang yang mewanti-wanti jangan membandingkan novel ini dengan filmnya. Karena imajinasi dengan penggambaran di film memang akan berbeda, imajinasi itu tidak terbatas sedangkan penggambaran imajinasi dalam bentuk nyata seringkali terbatas. Dan ini memang benar-benar terbukti pada film AAC tersebut.
Saya dari awal juga berusaha untuk tidak membandingkan dengan novel ketika nonton film ini. Tapi tetap saja tidak bisa membohongi karena saya sudah membaca.
Walaupun berbeda dengan novel, saya berharap film ini akan memiliki cerita yang dalam, penuh penghayatan, mengharu biru, penuh nilai dakwah atau pesan moral yang kuat. Tapi itu semua nyatanya tidak saya dapatkan. Film ini hanya sekedar menyesuaikan kronologis yang ada di novel, tapi banyak cerita penting di dalam novel yang tidak difilmkan.
Saya mengharapkan paling tidak film ini seperti Nagabonar Jadi 2 atau Denias yang memiliki pesan moral kuat, atau film2 Indonesia yang tidak laris tapi mendapatkan banyak penghargaan di festival. Tapi itu tidak saya temui. Bagi saya, ini seperti film-film percintaan yang marak, namun dengan suasana islami.
Fahri yang dalam novelnya seperti sosok yang perfect juga tidak saya temui dalam film ini. Fahri lebih seperti cowok yang culun, imut dan pada adegan tertentu malah saya anggap tidak sopan dan kurang sesuai dengan ajaran agama dalam kapasitasnya sebagai mahasiswa Al Azhar.
Misalnya adalah dalam satu rumah ada dua istri. Saya kira ajaran Islam tidak mengajarkan seperti ini, punya dua istri ya di tempatkan pada rumah yang berbeda. Kemudian pada adegan lain, Fahri tiba-tiba muncul di rumah Pamannya Aisha dan memotong pembicaraan, mirip pada sinetron atau film-film umumnya. Padahal kalau dia mahasiswa yang memperhatikan masalah ini, sebelum masuk ke rumah orang lain harus mengucapkan salam, mengetuk pintu dan seterusnya. Om Riyogarta juga sempat melihat adegan dimana membaca huruf arab dan mengejanya dari kiri ke kanan, mirip membaca tulisan latin! :D
Makanya, kalau mengharapkan yang berlebihan pada film ini, mending tidak usah nonton daripada kecewa. Tapi kalau menonton film ini hanya sekedar sebagai hiburan ringan seperti menonton film-film lain, film ini layak tonton. Karena film ini memang sangat pop dan ringan seperti halnya film remaja Indonesia pada umumnya. Ya seperti film-film garapan MD Picturesnya Punjabi-lah.
Saya juga salut atas usaha yang sangat besar dari Hanung Bramantyo untuk membuat film ini bagus, tapi kendala yang dihadapi ternyata sangat besar, termasuk dari produsernya. Andaikan produsernya bukan dari keluarga Punjabi, mungkin hasil dari film ini akan beda. Denger-denger, Laskar Pelangi juga mau difilmkan dengan sutradara Riri Riza dan rumah produksi Miles. Semoga apa yang sudah terjadi di AAC tidak terulang di Laskar Pelangi :)
Film AAC merupakan salah satu film yang paling ditunggu di blogosphere eh filmosphere tanah air, terutama tentu bagi yang sudah membaca novel karya Kang Abik ini. Sudah banyak memang yang mewanti-wanti jangan membandingkan novel ini dengan filmnya. Karena imajinasi dengan penggambaran di film memang akan berbeda, imajinasi itu tidak terbatas sedangkan penggambaran imajinasi dalam bentuk nyata seringkali terbatas. Dan ini memang benar-benar terbukti pada film AAC tersebut.
Saya dari awal juga berusaha untuk tidak membandingkan dengan novel ketika nonton film ini. Tapi tetap saja tidak bisa membohongi karena saya sudah membaca.
Walaupun berbeda dengan novel, saya berharap film ini akan memiliki cerita yang dalam, penuh penghayatan, mengharu biru, penuh nilai dakwah atau pesan moral yang kuat. Tapi itu semua nyatanya tidak saya dapatkan. Film ini hanya sekedar menyesuaikan kronologis yang ada di novel, tapi banyak cerita penting di dalam novel yang tidak difilmkan.
Saya mengharapkan paling tidak film ini seperti Nagabonar Jadi 2 atau Denias yang memiliki pesan moral kuat, atau film2 Indonesia yang tidak laris tapi mendapatkan banyak penghargaan di festival. Tapi itu tidak saya temui. Bagi saya, ini seperti film-film percintaan yang marak, namun dengan suasana islami.
Fahri yang dalam novelnya seperti sosok yang perfect juga tidak saya temui dalam film ini. Fahri lebih seperti cowok yang culun, imut dan pada adegan tertentu malah saya anggap tidak sopan dan kurang sesuai dengan ajaran agama dalam kapasitasnya sebagai mahasiswa Al Azhar.
Misalnya adalah dalam satu rumah ada dua istri. Saya kira ajaran Islam tidak mengajarkan seperti ini, punya dua istri ya di tempatkan pada rumah yang berbeda. Kemudian pada adegan lain, Fahri tiba-tiba muncul di rumah Pamannya Aisha dan memotong pembicaraan, mirip pada sinetron atau film-film umumnya. Padahal kalau dia mahasiswa yang memperhatikan masalah ini, sebelum masuk ke rumah orang lain harus mengucapkan salam, mengetuk pintu dan seterusnya. Om Riyogarta juga sempat melihat adegan dimana membaca huruf arab dan mengejanya dari kiri ke kanan, mirip membaca tulisan latin! :D
Makanya, kalau mengharapkan yang berlebihan pada film ini, mending tidak usah nonton daripada kecewa. Tapi kalau menonton film ini hanya sekedar sebagai hiburan ringan seperti menonton film-film lain, film ini layak tonton. Karena film ini memang sangat pop dan ringan seperti halnya film remaja Indonesia pada umumnya. Ya seperti film-film garapan MD Picturesnya Punjabi-lah.
Saya juga salut atas usaha yang sangat besar dari Hanung Bramantyo untuk membuat film ini bagus, tapi kendala yang dihadapi ternyata sangat besar, termasuk dari produsernya. Andaikan produsernya bukan dari keluarga Punjabi, mungkin hasil dari film ini akan beda. Denger-denger, Laskar Pelangi juga mau difilmkan dengan sutradara Riri Riza dan rumah produksi Miles. Semoga apa yang sudah terjadi di AAC tidak terulang di Laskar Pelangi :)
COMMENTS