Kemarin, saya berkesempatan lagi mengunjungi pameran Islamic Book Fair di Istora Senayan, Jakarta. Di sana, ditawarkan berbagai buku yang ma...
Kemarin, saya berkesempatan lagi mengunjungi pameran Islamic Book Fair di Istora Senayan, Jakarta. Di sana, ditawarkan berbagai buku yang mayoritas bernafas Islami dengan berbagai promo Diskon. Cukup menggemberikan memang, banyak sekali pengunjung yang memadati Istora untuk membeli buku-buku bacaan. Hal ini membuktikan sebagian masyarakat Indonesia telah memiliki budaya baca atau minat baca yang baik. Tapi itu baru sebagian, yang mungkin kalau diadakan survey, presentasinya masih sangat kecil.
Meskipun membuat berbagai diskon yang terlihat jadi murah, tapi menurutku harga buku tersebut kebanyakan masih mahal. Harganya tidak akan jauh beda dengan toko buku diskon. Itu adalah harga pameran yang hanya beberapa bulan sekali diadakan. Bagaimana kalau harga normal?
Untuk itulah, saya pun mengurungkan untuk membeli buku yang sebenarnya berminat karena harganya ratusan ribu. Karena mahalnya harga buku itulah, akhirnya buku buku bajakan juga beredar luas dengan harga yang jauh lebih murah dan banyak pembelinya. Kasihan memang, penulis buku sudah menulis berdarah-darah, tetapi imbalannya tidak sesuai dengan usahanya karena banyak yang beli buku bajakan.
Sesekali, cobalah mampir ke Kwitang di bilangan Senen, Jakarta. Di sana, akan terdapat banyak sekali buku-buku yang harganya jauh lebih murah dari harga resmi di toko buku seperti Gramedia atau Gunung Agung. Kenapa? ya karena bajakan itu. Buku bajakan beredar bebas di sana. Walaupun tidak semuanya adalah bajakan, karena ada agensi atau distributor buku yang juga memiliki kios di sana. Tentu harganya lebih murah dari Gramedia karena masih belum kena pajak ini itu plus keuntungan dari Gramedianya untuk membayar karyawannya.
Pajak kertas yang dirasa masih tinggi membuat penerbit mau tidak mau memberikan harga yang sesuai dengan biaya produksi mencetak buku. Pemerintah kelihatannya memang masih belum terlalu serius untuk berupaya mencerdaskan kehidupan bangsa yang salah satunya dengan budaya baca buku.
Jepang adalah salah satu contoh negara yang minat bacanya sangat tinggi. Seperti sering didengar melalui cerita-cerita, dimanapun berada, orang jepang selalu membaca buku. Di angkutan umum, tempat publik dan sebagainya, akan terlihat pemandangan orang-orang yang tekun membaca buku. Untuk menjadi seperti Jepang, memang masih terlalu jauh. Apalagi di Indonesia, baca buku di kereta (ekonomi) bisa menyebabkan tas, dompet dan hape menghilang entah kemana. :lol:
Memang, ada alternatif yang jauh lebih murah yaitu lewat e-book. Buku elektronik kini berkembang makin pesat, namun keberadaannya masih belum bisa menandingi keberadaan buku dicetak kertas. Saya sendiri terkadang agak kesulitan untuk membaca e-book. Ribet, harus menyalakan komputer. Atau jika baca dari hape, tulisannya kecil-kecil. E-book masih sebatas alternatif.
Tapi, kalaupun pajak kertas diturunkan atau mendapat subsidi pemerintah yang berimbas kepada turunnya harga buku, apakah bisa menjamin lebih banyak orang untuk membaca buku?
Minimal, kaum intelektual atau yang pernah memakan bangku sekolah hingga pendidikan tinggi akan lebih sering membaca buku. Tapi kalau masyarakat Indonesia secara umum, masih perlu waktu. Masyarakat pada umumnya masih lebih suka menonton televisi yang ringan-ringan daripada membaca buku yang bikin mikir.
Sebentar lagi, pemerintah dalam hal ini Depkominfo akan mengeluarkan surat keputusan mengenai penurunan tarif. Untuk menyambut ini, beberapa operator sudah mengeluarkan tarif murah meriah yang terjun bebas dari tarif sebelumnya. Pelanggan selular riang bukan main.
Seharusnya, pemerintah juga berani menurunkan harga kertas atau buku dan mensosialisasikan minat baca agar bangsa Indonesia ini menjadi lebih cerdas dan berwawasan.
Meskipun membuat berbagai diskon yang terlihat jadi murah, tapi menurutku harga buku tersebut kebanyakan masih mahal. Harganya tidak akan jauh beda dengan toko buku diskon. Itu adalah harga pameran yang hanya beberapa bulan sekali diadakan. Bagaimana kalau harga normal?
Untuk itulah, saya pun mengurungkan untuk membeli buku yang sebenarnya berminat karena harganya ratusan ribu. Karena mahalnya harga buku itulah, akhirnya buku buku bajakan juga beredar luas dengan harga yang jauh lebih murah dan banyak pembelinya. Kasihan memang, penulis buku sudah menulis berdarah-darah, tetapi imbalannya tidak sesuai dengan usahanya karena banyak yang beli buku bajakan.
Sesekali, cobalah mampir ke Kwitang di bilangan Senen, Jakarta. Di sana, akan terdapat banyak sekali buku-buku yang harganya jauh lebih murah dari harga resmi di toko buku seperti Gramedia atau Gunung Agung. Kenapa? ya karena bajakan itu. Buku bajakan beredar bebas di sana. Walaupun tidak semuanya adalah bajakan, karena ada agensi atau distributor buku yang juga memiliki kios di sana. Tentu harganya lebih murah dari Gramedia karena masih belum kena pajak ini itu plus keuntungan dari Gramedianya untuk membayar karyawannya.
Pajak kertas yang dirasa masih tinggi membuat penerbit mau tidak mau memberikan harga yang sesuai dengan biaya produksi mencetak buku. Pemerintah kelihatannya memang masih belum terlalu serius untuk berupaya mencerdaskan kehidupan bangsa yang salah satunya dengan budaya baca buku.
Jepang adalah salah satu contoh negara yang minat bacanya sangat tinggi. Seperti sering didengar melalui cerita-cerita, dimanapun berada, orang jepang selalu membaca buku. Di angkutan umum, tempat publik dan sebagainya, akan terlihat pemandangan orang-orang yang tekun membaca buku. Untuk menjadi seperti Jepang, memang masih terlalu jauh. Apalagi di Indonesia, baca buku di kereta (ekonomi) bisa menyebabkan tas, dompet dan hape menghilang entah kemana. :lol:
Memang, ada alternatif yang jauh lebih murah yaitu lewat e-book. Buku elektronik kini berkembang makin pesat, namun keberadaannya masih belum bisa menandingi keberadaan buku dicetak kertas. Saya sendiri terkadang agak kesulitan untuk membaca e-book. Ribet, harus menyalakan komputer. Atau jika baca dari hape, tulisannya kecil-kecil. E-book masih sebatas alternatif.
Tapi, kalaupun pajak kertas diturunkan atau mendapat subsidi pemerintah yang berimbas kepada turunnya harga buku, apakah bisa menjamin lebih banyak orang untuk membaca buku?
Minimal, kaum intelektual atau yang pernah memakan bangku sekolah hingga pendidikan tinggi akan lebih sering membaca buku. Tapi kalau masyarakat Indonesia secara umum, masih perlu waktu. Masyarakat pada umumnya masih lebih suka menonton televisi yang ringan-ringan daripada membaca buku yang bikin mikir.
Sebentar lagi, pemerintah dalam hal ini Depkominfo akan mengeluarkan surat keputusan mengenai penurunan tarif. Untuk menyambut ini, beberapa operator sudah mengeluarkan tarif murah meriah yang terjun bebas dari tarif sebelumnya. Pelanggan selular riang bukan main.
Seharusnya, pemerintah juga berani menurunkan harga kertas atau buku dan mensosialisasikan minat baca agar bangsa Indonesia ini menjadi lebih cerdas dan berwawasan.
COMMENTS