[caption id="attachment_191" align="alignnone" width="500" caption="Brosur Perbandingan Tarif yang dibuat...
[caption id="attachment_191" align="alignnone" width="500" caption="Brosur Perbandingan Tarif yang dibuat oleh Simpati. sumber : milis"]
[/caption]
Beberapa hari terakhir ini, telekomunikasi Indonesia sedang ramai mempermasalahkan pembakaran spanduk operator terbesar yang disinyalir dilakukan oleh operator pesaingnya.
Persaingan antar operator telekomunikasi memang sudah semakin tidak sehat. Misalnya ada iklan yang isinya hanya menyontek operator lain sampai ada yang mengejek atau menjatuhkan operator lain dan sebagainya.
Sebagian pihak menganggap peperangan ini ibarat "Gajak Berkelahi Pelanduk Mati di Tengah". Sementara ada juga sebagian yang menganggap bahwa peperangan atau persaingan antar operator ini malah menguntungkan karena tarif yang semakin murah, walaupun kualitasnya memburuk. Untuk itu pelanggan perlu menuntut adanya Quality of Service. Padahal yang paling dibutuhkan oleh pelanggan adalah kelancaran berkomunikasi. Ga ada artinya juga jika tarifnya murah, tapi menjadi susah menghubungi atau telepon sebentar putus lagi.
Pernah ada sentilan yang menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara yang sangat menyenangkan untuk dijadikan coba-coba, karena perlindungan terhadap konsumen sangat minim. Jadi jika operator seenaknya saja bikin promosi tanpa memperhatikan kesiapan jaringannya, itu sangatlah wajar.
Dari salah satu milis yang saya ikuti, seorang rekan dari Surabaya menyebutkan bahwa di tempatnya itu sejak beberapa waktu lalu tertempel selembar cetakan berukuran A4. Isinya perbandingan tarif antara tarif manusia, tarif cumi, seperti yang terlihat dari gambar di atas. Di situ, Simpati disebutkan sebagai tarif manusia dengan kesimpulan bahwa "tarif manusia, wajar masuk akal, puas kualitasnya, puas murahnya." Kemudian disebelahnya ada Tarif Cumi yang mengacu pada IM3 yang diberi kesimpulan "namanya aja cumi, ya cuma miskal.. mahal siy!". Terakhir adalah tarif monyet yang mencu pada XL yang diberi kesimpulan "monyet gak bisa ngitung. Ngomong bentar, ngomong lama, kok sama mahalnya".
Sepertinya, iklan operator telekomunikasi saat ini kebanyakan kurang mendidik atau edukatif. Tidak ada nilai plus yang membuat konsumen menjadi menggunakan layanan telekomunikasi untuk keperluan yang positif, produktif dan hemat sesuai kebutuhan. Mereka hanya ingin memperoleh keuntungan sementara dengan menggunakan berbagai cara tanpa memperhatikan etika. Cenderung mengajak untuk melakukan percakapan yang lama maupun SMS Sebanyak-banyaknya yang berarti ini mengajarkan kepada kita untuk berlebih-lebihan, boros, tidak menghargai pentingnya waktu.
Apakah mungkin para pelaku telekomunikasi itu adalah orang yang kurang terdidik, kurang mengetahui etika, kurang mengetahui moral, kurang mendapatkan pendidikan agama? Ataukah mereka adalah pecandu sinetron Indonesia yang isinya menampilkan adegan kekerasan, caci maki, kebencian, hedonis? Ataukah ini adalah beberapa tanda bisnis ala kapitalis?
Ah..sudahlah, saya kurang tahu. Tapi, masalah seperti saling menjatuhkan, ingin mencari keuntungan singkat dengan melakukan segala cara adalah tabiat manusia yang serakah dan tidak pandai bersyukur.
Beberapa hari terakhir ini, telekomunikasi Indonesia sedang ramai mempermasalahkan pembakaran spanduk operator terbesar yang disinyalir dilakukan oleh operator pesaingnya.
Persaingan antar operator telekomunikasi memang sudah semakin tidak sehat. Misalnya ada iklan yang isinya hanya menyontek operator lain sampai ada yang mengejek atau menjatuhkan operator lain dan sebagainya.
Sebagian pihak menganggap peperangan ini ibarat "Gajak Berkelahi Pelanduk Mati di Tengah". Sementara ada juga sebagian yang menganggap bahwa peperangan atau persaingan antar operator ini malah menguntungkan karena tarif yang semakin murah, walaupun kualitasnya memburuk. Untuk itu pelanggan perlu menuntut adanya Quality of Service. Padahal yang paling dibutuhkan oleh pelanggan adalah kelancaran berkomunikasi. Ga ada artinya juga jika tarifnya murah, tapi menjadi susah menghubungi atau telepon sebentar putus lagi.
Pernah ada sentilan yang menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara yang sangat menyenangkan untuk dijadikan coba-coba, karena perlindungan terhadap konsumen sangat minim. Jadi jika operator seenaknya saja bikin promosi tanpa memperhatikan kesiapan jaringannya, itu sangatlah wajar.
Dari salah satu milis yang saya ikuti, seorang rekan dari Surabaya menyebutkan bahwa di tempatnya itu sejak beberapa waktu lalu tertempel selembar cetakan berukuran A4. Isinya perbandingan tarif antara tarif manusia, tarif cumi, seperti yang terlihat dari gambar di atas. Di situ, Simpati disebutkan sebagai tarif manusia dengan kesimpulan bahwa "tarif manusia, wajar masuk akal, puas kualitasnya, puas murahnya." Kemudian disebelahnya ada Tarif Cumi yang mengacu pada IM3 yang diberi kesimpulan "namanya aja cumi, ya cuma miskal.. mahal siy!". Terakhir adalah tarif monyet yang mencu pada XL yang diberi kesimpulan "monyet gak bisa ngitung. Ngomong bentar, ngomong lama, kok sama mahalnya".
Sepertinya, iklan operator telekomunikasi saat ini kebanyakan kurang mendidik atau edukatif. Tidak ada nilai plus yang membuat konsumen menjadi menggunakan layanan telekomunikasi untuk keperluan yang positif, produktif dan hemat sesuai kebutuhan. Mereka hanya ingin memperoleh keuntungan sementara dengan menggunakan berbagai cara tanpa memperhatikan etika. Cenderung mengajak untuk melakukan percakapan yang lama maupun SMS Sebanyak-banyaknya yang berarti ini mengajarkan kepada kita untuk berlebih-lebihan, boros, tidak menghargai pentingnya waktu.
Apakah mungkin para pelaku telekomunikasi itu adalah orang yang kurang terdidik, kurang mengetahui etika, kurang mengetahui moral, kurang mendapatkan pendidikan agama? Ataukah mereka adalah pecandu sinetron Indonesia yang isinya menampilkan adegan kekerasan, caci maki, kebencian, hedonis? Ataukah ini adalah beberapa tanda bisnis ala kapitalis?
Ah..sudahlah, saya kurang tahu. Tapi, masalah seperti saling menjatuhkan, ingin mencari keuntungan singkat dengan melakukan segala cara adalah tabiat manusia yang serakah dan tidak pandai bersyukur.
COMMENTS