[caption id="" align="alignnone" width="512" caption="Coretan "Jon Sayuti Wartawan Bodrek" di K...
[caption id="" align="alignnone" width="512" caption="Coretan "Jon Sayuti Wartawan Bodrek" di Komdak. Sampeyan kenal dia? :D"]
[/caption]
Siang itu, di tengah teriknya panas matahari yang disempurnakan lagi dengan kemacetan lalu lintas. Saya melewati di jembatan penyeberangan di Komdak. Dari sekian banyaknya coretan grafis di situ, ada sebuah tulisan yang menarik mata saya. "John Sayuti Wartawan Bodrek Tukang RUPS," begitu isi tulisan tersebut. Selain itu, saya juga menemukan tulisan lain yang mengarah kepada John Sayuti wartawan bodrek. Selain di Komdak, coretan-coretan mengenai wartawan bodrek juga bisa ditemui di beberapa tempat. Seingatku, di sekitar jalan Thamrin juga ada coretan "Wartawan Bodrek Raja Souvenir", hanya saja pada waktu itu saya tidak sempat mengabadikan dengan memotretnya.
Entahlah mengapa muncul istilah wartawan bodrek, saya kurang tahu. Mengingat saya juga masih termasuk baru di dunia pers. Tapi paling tidak saya mengetahui yang dimaksud wartawan bodrek, yaitu istilah untuk wartawan yang tidak punya media tapi dengan menggunakan status wartawan untuk melakukan pemerasan atas nama media. Mengapa memakai istilah Bodrek, yang notabene adalah merk untuk obat sakit kepala, saya masih belum mengerti. Apakah ulah mereka ini membuat kita pusing atau bikin sakit kepala? Tapi analogi ini sepertinya juga kurang pas karena mereka ini penyebab sakit kepala, bukan obatnya. Tak tahulah, mungkin para wartawan yang sudah senior di sini bisa menjelaskan.
Bagi wartawan yang sehari-harinya berada di lapangan untuk tugas jurnalistik, keberadaan wartawan bodrek ini sepertinya sangat dekat dengan kita. Mereka datang beramai-ramai di suatu event atau konferensi pers dengan membawa kartu nama dan kartu pers dengan nama media yang tidak pernah kita dengar. Terkadang, mereka juga mendompleng memakai nama media yang sudah dikenal. Mereka ini "datang tak dijemput, pulang tak diantar", eh maksudnya datang tak diundang. Alasannya, meliput kegiatan adalah hak. Ini bisa dimaklumi, yang tak dibenarkan adalah jika menuntut sesuatu dengan kehadiran mereka, yaitu duit.
Misalnya dari yang pernah saya baca pada artikel di Citizen News Suara Merdeka, salah satu perusahaan asuransi di Jakarta Pusat yang baru merayakan hari jadinya, menjadi korban para wartawan bodrek. Pihak humas kelabakan ketika sejumlah wartawan tanpa media itu mendatanginya. Tidak tanggung-tanggung, ada 70 wartawan bodrek. Padahal, humas mengaku tidak pernah menghubungi pers mana pun. Ketika pihak humas mencoba tidak menanggapi, mereka marah-marah dan hendak berbuat anarki. Akhirnya perusahaan terpaksa mengalah dan membagi sejumlah uang ke mereka.
Seringkali pada waktu liputan, saya menjumpai mereka. Saya mulai mengetahuinya dengan jelas ketika saya merangkap menjadi PR untuk salah satu vendor handphone saat mengadakan launching produk sekitar setahun yang lalu. Kecurigaan itu muncul saat kami mengumpulkan kartu nama. Di situ saya menemukan nama media yang aneh-aneh. Kebanyakan menulis di kartu namanya sebagai media online, walaupun ada juga yang menggunakan media cetak. Dari alamat situs yang tertulis di kartunama, saya iseng untuk mengunjunginya. Dan ketika berhasil dibuka, saya asli tertawa karena user interfacenya yang oldies banget. Mirip ketika saya masih belajar membuat website dikala kuliah dulu. Lengkap dengan pernik seperti tulisan berjalan (marquee) di layar.
Kesan semakin diperkuat lagi ketika mereka telah menggunakan nama media, tapi artikel yang ada disitu jarak updatenya terbilang lama. Banyak ditemui tipo atau salah ketik, pengarsipan yang kurang baik, tersedia kotak search tapi ketika dicoba mencari suatu artikel yang jelas-jelas ada, tapi tidak menemukan hasil pencarian, terdapat banner iklan tapi sepertinya sekedar copy paste dari suatu website. Dan yang tidak kalah menarik, ketika saya mengunjungi alamat website dari kartu nama yang lain lagi, informasi yang ditampilkan mirip. Saya membandingkan suatu artikel dan memang mirip. Hanya kadang-kadang ada paragraph yang dihilangkan dan sebagainya.
Tidak cukup sampai di sini, esok paginya setelah acara tersebut digelar, saya tiba-tiba ditelepon orang yang mengaku dari suatu media apa gitu. Orang ini bilang kalau liputan dari acara yang digelar kemarin sudah naik dan minta sejumlah bayaran kepada kami. Ketika itu saya juga masih di jalan dan belum menemukan jawaban yang tepat, maka saya suruh aja untuk menghubungi ke kantor.
Pada acara berikutnya yang digelar, mereka datang lagi walaupun tidak diundang. Ada semacam dilema jika menolaknya, karena terkadang saya juga bertemu mereka ketika sedang ada acara lain. Okelah mereka dipersilahkan masuk lagian jumlahnya juga sedikit. Berikutnya, kami mensortir kartu nama. Dari situ kami menemukan beberapa kartu nama yang dobel dari orang yang sama. Ya, mereka biasanya memasukkan lebih dari satu kartu nama agar peluang untuk mendapatkan door prize lebih besar. Kami kumpulkan kartunama dobel itu tas goodybag yang kosong. Acara selesai, meja presensi kosong karena kami juga menyapa teman-teman wartawan. Mungkin itulah kecerobohan kami yang memang dalam tahap masih belajar. Hingga terjadilah insiden itu. Salah seorang dari mereka sepertinya iseng saja ke meja presensi dan melihat di sekitar. Di antara tas goodybag yang tersisa, dilihatnya ada beberapa kartunama milik mereka yang dimasukkan di situ. Emosilah orang itu dan bersama teman-temannya menghampiri bosku dengan menumpahkan kemarahannya. Bosku sebenarnya juga menjelaskan bahwa itu hanyalah kartunama yang dobel, tapi sepertinya mereka masih kurang terima. Malamnya, mereka menelpon bosku lagi dengan kata-kata kasar.
Itulah sekelumit pengalaman saya dengan wartawan bodrek. Entahlah sampai kapan mereka akan terus begitu. Padahal menurut saya, akan lebih baik jika mereka meninggalkan "profesinya" dan berganti menjadi Blogger. Bukan begitu? :)
Siang itu, di tengah teriknya panas matahari yang disempurnakan lagi dengan kemacetan lalu lintas. Saya melewati di jembatan penyeberangan di Komdak. Dari sekian banyaknya coretan grafis di situ, ada sebuah tulisan yang menarik mata saya. "John Sayuti Wartawan Bodrek Tukang RUPS," begitu isi tulisan tersebut. Selain itu, saya juga menemukan tulisan lain yang mengarah kepada John Sayuti wartawan bodrek. Selain di Komdak, coretan-coretan mengenai wartawan bodrek juga bisa ditemui di beberapa tempat. Seingatku, di sekitar jalan Thamrin juga ada coretan "Wartawan Bodrek Raja Souvenir", hanya saja pada waktu itu saya tidak sempat mengabadikan dengan memotretnya.
Entahlah mengapa muncul istilah wartawan bodrek, saya kurang tahu. Mengingat saya juga masih termasuk baru di dunia pers. Tapi paling tidak saya mengetahui yang dimaksud wartawan bodrek, yaitu istilah untuk wartawan yang tidak punya media tapi dengan menggunakan status wartawan untuk melakukan pemerasan atas nama media. Mengapa memakai istilah Bodrek, yang notabene adalah merk untuk obat sakit kepala, saya masih belum mengerti. Apakah ulah mereka ini membuat kita pusing atau bikin sakit kepala? Tapi analogi ini sepertinya juga kurang pas karena mereka ini penyebab sakit kepala, bukan obatnya. Tak tahulah, mungkin para wartawan yang sudah senior di sini bisa menjelaskan.
Bagi wartawan yang sehari-harinya berada di lapangan untuk tugas jurnalistik, keberadaan wartawan bodrek ini sepertinya sangat dekat dengan kita. Mereka datang beramai-ramai di suatu event atau konferensi pers dengan membawa kartu nama dan kartu pers dengan nama media yang tidak pernah kita dengar. Terkadang, mereka juga mendompleng memakai nama media yang sudah dikenal. Mereka ini "datang tak dijemput, pulang tak diantar", eh maksudnya datang tak diundang. Alasannya, meliput kegiatan adalah hak. Ini bisa dimaklumi, yang tak dibenarkan adalah jika menuntut sesuatu dengan kehadiran mereka, yaitu duit.
Misalnya dari yang pernah saya baca pada artikel di Citizen News Suara Merdeka, salah satu perusahaan asuransi di Jakarta Pusat yang baru merayakan hari jadinya, menjadi korban para wartawan bodrek. Pihak humas kelabakan ketika sejumlah wartawan tanpa media itu mendatanginya. Tidak tanggung-tanggung, ada 70 wartawan bodrek. Padahal, humas mengaku tidak pernah menghubungi pers mana pun. Ketika pihak humas mencoba tidak menanggapi, mereka marah-marah dan hendak berbuat anarki. Akhirnya perusahaan terpaksa mengalah dan membagi sejumlah uang ke mereka.
Seringkali pada waktu liputan, saya menjumpai mereka. Saya mulai mengetahuinya dengan jelas ketika saya merangkap menjadi PR untuk salah satu vendor handphone saat mengadakan launching produk sekitar setahun yang lalu. Kecurigaan itu muncul saat kami mengumpulkan kartu nama. Di situ saya menemukan nama media yang aneh-aneh. Kebanyakan menulis di kartu namanya sebagai media online, walaupun ada juga yang menggunakan media cetak. Dari alamat situs yang tertulis di kartunama, saya iseng untuk mengunjunginya. Dan ketika berhasil dibuka, saya asli tertawa karena user interfacenya yang oldies banget. Mirip ketika saya masih belajar membuat website dikala kuliah dulu. Lengkap dengan pernik seperti tulisan berjalan (marquee) di layar.
Kesan semakin diperkuat lagi ketika mereka telah menggunakan nama media, tapi artikel yang ada disitu jarak updatenya terbilang lama. Banyak ditemui tipo atau salah ketik, pengarsipan yang kurang baik, tersedia kotak search tapi ketika dicoba mencari suatu artikel yang jelas-jelas ada, tapi tidak menemukan hasil pencarian, terdapat banner iklan tapi sepertinya sekedar copy paste dari suatu website. Dan yang tidak kalah menarik, ketika saya mengunjungi alamat website dari kartu nama yang lain lagi, informasi yang ditampilkan mirip. Saya membandingkan suatu artikel dan memang mirip. Hanya kadang-kadang ada paragraph yang dihilangkan dan sebagainya.
Tidak cukup sampai di sini, esok paginya setelah acara tersebut digelar, saya tiba-tiba ditelepon orang yang mengaku dari suatu media apa gitu. Orang ini bilang kalau liputan dari acara yang digelar kemarin sudah naik dan minta sejumlah bayaran kepada kami. Ketika itu saya juga masih di jalan dan belum menemukan jawaban yang tepat, maka saya suruh aja untuk menghubungi ke kantor.
Pada acara berikutnya yang digelar, mereka datang lagi walaupun tidak diundang. Ada semacam dilema jika menolaknya, karena terkadang saya juga bertemu mereka ketika sedang ada acara lain. Okelah mereka dipersilahkan masuk lagian jumlahnya juga sedikit. Berikutnya, kami mensortir kartu nama. Dari situ kami menemukan beberapa kartu nama yang dobel dari orang yang sama. Ya, mereka biasanya memasukkan lebih dari satu kartu nama agar peluang untuk mendapatkan door prize lebih besar. Kami kumpulkan kartunama dobel itu tas goodybag yang kosong. Acara selesai, meja presensi kosong karena kami juga menyapa teman-teman wartawan. Mungkin itulah kecerobohan kami yang memang dalam tahap masih belajar. Hingga terjadilah insiden itu. Salah seorang dari mereka sepertinya iseng saja ke meja presensi dan melihat di sekitar. Di antara tas goodybag yang tersisa, dilihatnya ada beberapa kartunama milik mereka yang dimasukkan di situ. Emosilah orang itu dan bersama teman-temannya menghampiri bosku dengan menumpahkan kemarahannya. Bosku sebenarnya juga menjelaskan bahwa itu hanyalah kartunama yang dobel, tapi sepertinya mereka masih kurang terima. Malamnya, mereka menelpon bosku lagi dengan kata-kata kasar.
Itulah sekelumit pengalaman saya dengan wartawan bodrek. Entahlah sampai kapan mereka akan terus begitu. Padahal menurut saya, akan lebih baik jika mereka meninggalkan "profesinya" dan berganti menjadi Blogger. Bukan begitu? :)
COMMENTS