[caption id="" align="alignnone" width="560" caption="Murid ketika bersantai di kelas"] [/caption] S...
[caption id="" align="alignnone" width="560" caption="Murid ketika bersantai di kelas"]
[/caption]
Selasa kemarin, saya bersama beberapa teman-teman media berkunjung ke sebuah sekolah dasar di daerah puncak, tepatnya di
SDN Cikoneng, Cisarua, Bogor. Bukan dalam rangka kegiatan yang berhubungan dengan pendidikan, kebetulan tempat itu dekat dengan lokasi acara CSR salah satu vendor dan memang satu-satunya gedung di tengah hamparan pegunungan dengan perkebunan teh.
[caption id="" align="alignnone" width="560" caption="Menunggu hujanreda"]
[/caption]
Sampai di sana, langsung disambut dengan hujan deras sehingga acara pun diundur untuk beberapa waktu lamanya. Masa menunggu ini saya manfaatkan dengan melihat-lihat kondisi sekolahan tersebut. Sekaligus nostalgia mengenang masa-masa masih SD. Cukup miris melihat kondisi sekolahan yang seperti ini. Tidak terawat. Meskipun saya tahu -berdasar info di media cetak dan elektronik- bahwa selain sekolah ini, sangat banyak kondisi sekolah lain di Indonesia yang mengalami nasib serupa. Ratusan, mungkin ribuan.
[caption id="" align="alignnone" width="560" caption="Kondisi ruang kelas"]
[/caption]
Kondisi ini tentu saja sangat ironis jika dibandingkan dengan fasilitas mewah yang diperoleh para pejabat tinggi negara ini. Para menteri mendapat Toyota Crown Royal Saloon yang masing-masing seharga sekitar Rp 1,3 miliar. Kemudian anggaran pengadaan pesawat VVIP Presiden sekitar Rp 200 miliar, anggaran renovasi pagar istana negara Rp 22,581 miliar. Ini hanya beberapa contoh saja, yang lain masih banyak. Termasuk penjara mewah Arthalyta. Mengherankan jika penjara saja yang seharusnya bisa membuat seseorang jera, tetapi sangat mewah. Berbanding terbalik dengan sekolah yang untuk mendidik putra putri bangsa, tetapi kondisinya memprihatinkan. Ya, ini memang masalah yang sangat klasik.
[caption id="" align="alignnone" width="373" caption="Ruang kelas jadi ruang gudang"]
[/caption]
Bagaimana bisa bersaing dengan negara lain yang kualitas pendidikannya sudah jauh lebih maju? Konon, dari cerita orang-orang, sejak masa SD saja mereka hasil kerajinan atau karyanya sudah semacam robot dan sejenisnya. Sejak kecil mereka sudah belajar teknologi. Sementara itu ketika saya SD dulu, karya yang saya buat sebagai tugas sekolah seperti membuat sapu, keset dan lainnya yang masih sangat sederhana. Itu waktu saya kecil dulu, sekitar 15 tahun yang lalu.
Bagaimana dengan sekarang? Seharusnya sudah semakin maju apalagi untuk sekolah mahal di kota besar. Tetapi ketika saya berkunjung ke SD itu, rasa miris semakin bertambah. Lihat saja, seperti gambar di bawah. Di salah satu ruang kelas saya menemukan dua buah mainan mobil-mobilan yang terbuat dari bungkus rokok dan bekas sandal yang dipotong lingkaran untuk dijadikan roda-roda. Mainan yang dibuat dengan biaya sangat murah meriah, nyaris tidak beli. Berbeda jauh dengan mainan milik anak orang kaya yang harganya ratusan ribu. Anak orang kaya yang belajar di sekolah mewah berstandard internasional dengan biaya per bulan mencapai jutaan rupiah.
[caption id="" align="alignnone" width="560" caption="Mainan dari bekas sandal dan bungkus rokok"]
[/caption]
Bagi anak orang kaya, mereka bisa nyaman belajar dengan fasilitas lengkap dan super canggih. Dari kecil sudah belajar internet, belajar ngeblog, memiliki akun Facebook. Juga alat komunikasi canggih semacam BlackBerry atau iPhone. Tapi bagi masyarakat kebanyakan yang penghasilannya pas-pasan, mereka harus berpuas menyekolahkan anaknya belajar di sekolah yang apa adanya. Ya sekolah seperti inilah tempat untuk mendidik generasi masa depan bangsa. Inilah tempat untuk mencetak sumber daya manusia di Indonesia. Sampai kapan kondisi pendidikan kita akan terus seperti ini?
Selasa kemarin, saya bersama beberapa teman-teman media berkunjung ke sebuah sekolah dasar di daerah puncak, tepatnya di
SDN Cikoneng, Cisarua, Bogor. Bukan dalam rangka kegiatan yang berhubungan dengan pendidikan, kebetulan tempat itu dekat dengan lokasi acara CSR salah satu vendor dan memang satu-satunya gedung di tengah hamparan pegunungan dengan perkebunan teh.
[caption id="" align="alignnone" width="560" caption="Menunggu hujanreda"]
Sampai di sana, langsung disambut dengan hujan deras sehingga acara pun diundur untuk beberapa waktu lamanya. Masa menunggu ini saya manfaatkan dengan melihat-lihat kondisi sekolahan tersebut. Sekaligus nostalgia mengenang masa-masa masih SD. Cukup miris melihat kondisi sekolahan yang seperti ini. Tidak terawat. Meskipun saya tahu -berdasar info di media cetak dan elektronik- bahwa selain sekolah ini, sangat banyak kondisi sekolah lain di Indonesia yang mengalami nasib serupa. Ratusan, mungkin ribuan.
[caption id="" align="alignnone" width="560" caption="Kondisi ruang kelas"]
Kondisi ini tentu saja sangat ironis jika dibandingkan dengan fasilitas mewah yang diperoleh para pejabat tinggi negara ini. Para menteri mendapat Toyota Crown Royal Saloon yang masing-masing seharga sekitar Rp 1,3 miliar. Kemudian anggaran pengadaan pesawat VVIP Presiden sekitar Rp 200 miliar, anggaran renovasi pagar istana negara Rp 22,581 miliar. Ini hanya beberapa contoh saja, yang lain masih banyak. Termasuk penjara mewah Arthalyta. Mengherankan jika penjara saja yang seharusnya bisa membuat seseorang jera, tetapi sangat mewah. Berbanding terbalik dengan sekolah yang untuk mendidik putra putri bangsa, tetapi kondisinya memprihatinkan. Ya, ini memang masalah yang sangat klasik.
[caption id="" align="alignnone" width="373" caption="Ruang kelas jadi ruang gudang"]
Bagaimana bisa bersaing dengan negara lain yang kualitas pendidikannya sudah jauh lebih maju? Konon, dari cerita orang-orang, sejak masa SD saja mereka hasil kerajinan atau karyanya sudah semacam robot dan sejenisnya. Sejak kecil mereka sudah belajar teknologi. Sementara itu ketika saya SD dulu, karya yang saya buat sebagai tugas sekolah seperti membuat sapu, keset dan lainnya yang masih sangat sederhana. Itu waktu saya kecil dulu, sekitar 15 tahun yang lalu.
Bagaimana dengan sekarang? Seharusnya sudah semakin maju apalagi untuk sekolah mahal di kota besar. Tetapi ketika saya berkunjung ke SD itu, rasa miris semakin bertambah. Lihat saja, seperti gambar di bawah. Di salah satu ruang kelas saya menemukan dua buah mainan mobil-mobilan yang terbuat dari bungkus rokok dan bekas sandal yang dipotong lingkaran untuk dijadikan roda-roda. Mainan yang dibuat dengan biaya sangat murah meriah, nyaris tidak beli. Berbeda jauh dengan mainan milik anak orang kaya yang harganya ratusan ribu. Anak orang kaya yang belajar di sekolah mewah berstandard internasional dengan biaya per bulan mencapai jutaan rupiah.
[caption id="" align="alignnone" width="560" caption="Mainan dari bekas sandal dan bungkus rokok"]
Bagi anak orang kaya, mereka bisa nyaman belajar dengan fasilitas lengkap dan super canggih. Dari kecil sudah belajar internet, belajar ngeblog, memiliki akun Facebook. Juga alat komunikasi canggih semacam BlackBerry atau iPhone. Tapi bagi masyarakat kebanyakan yang penghasilannya pas-pasan, mereka harus berpuas menyekolahkan anaknya belajar di sekolah yang apa adanya. Ya sekolah seperti inilah tempat untuk mendidik generasi masa depan bangsa. Inilah tempat untuk mencetak sumber daya manusia di Indonesia. Sampai kapan kondisi pendidikan kita akan terus seperti ini?
COMMENTS