Jaringan 3G yang ada dalam waktu dekat dianggap tidak mampu menanganai pelanggan data. Operator memperkirakan LTE mendesak untuk diimplement...
Jaringan 3G yang ada dalam waktu dekat dianggap tidak mampu menanganai pelanggan data. Operator memperkirakan LTE mendesak untuk diimplementasikan di akhir 2012.
[caption id=”attachment_576" align=”aligncenter” width=”373" caption=”Sedang menelepon di Great Wall :D”]
[/caption]
Cuaca cerah di musim panas bulan Juli membuat aktivitas penduduk Shanghai semakin bersemangat. Jam 9 pagi, Stasiun Maglev di Jalan Longyang, Pudong sudah tampak ramai. Mereka memilih memakai jasa kereta api Maglev untuk menuju ke Pudong International Airport karena waktu tempuh yang sangat singkat. Mencengangkan. Jarak 31 km hanya ditempuh dalam waktu 7 menit. Karena kereta Maglev (MAGnetically LEVitated trains) melesat dengan kecepatan maksimal 431 km/jam. Di kereta magnet tercepat di dunia inilah, diuji seberapa handal kualitas jaringan Long Term Evolution (LTE).
Saya dan beberapa rekan media dari Indonesia diajak Telkomsel untuk membuktikan teknologi LTE yang di kereta Maglev diimplementasikan oleh Huawei. Demonstrasi dilakukan dengan cara sederhana, yakni menggunakan satu dongle (modem) yang menangkap sinyal dari BTS untuk diteruskan ke laptop. Secara teori, kecepatan unduh data LTE yang dikembangkan Huawei bisa mencapai 150 Mbps. Tetapi pada praktiknya di kereta tersebut, proses unduh data dengan 1 pengguna melaju di kecepatan 43 Mbps.
Dani K Ristandi, Deputy Director of Solusiton Sales Division PT Huawei Tech Investment berdalih ini terjadi karena adanya masalah transmisi dari 8 BTS LTE di sepanjang jalur kereta Maglev yang dibatasi maksimal sampai 50 Mbps. Menariknya, meski berada di kendaraan dengan kecepatan tinggi, kecepatan akses internet berbasis LTE tetap stabil. Inilah yang belum bisa dilakukan oleh teknologi lainnya. Sayangnya, percobaan LTE di tempat publik di China hanya bisa dilakukan di kereta Maglev. Itupun masih terbatas oleh kalangan internal Huawei. Karena China masih belum mengimplementasikan LTE terkait masalah regulasi. Permasalahan serupa terjadi di banyak negara, termasuk di Indonesia.
Menurut Joko Suryana, pakar telekomunikasi dari Sekolah Teknik Elektro dan Informatika Institut Teknologi Bandung (STEI ITB), ada beberapa pita frekuensi yang biasa digunakan oleh operator LTE di dunia yaitu 700/800 MHz, 1800 MHz, 2100 MHz dan 2600 MHz. Pada praktiknya, frekuensi LTE yang dipakai di Jerman, Swedia atau negara-negara lain ada dua. Yaitu frekuensi 2,6GHz yang lebih optimal untuk kawasan padat penduduk atau perkotaan. Sementara untuk pedesaan bisa memakai 700 Mhz. “Permasalahan di Indonesia, frekuensi-frekuensi di atas sudah digunakan baik oleh operator selular maupun perusahaan penyiaran (broadcasting). Saat ini tidak ada lagi alokasi frekuensi yang kosong atau tersedia untuk LTE,” kata Joko yang juga diundang ke China.
Melihat semrawutnya frekuensi, ada yang mengusulkan pemerintah melakukan penataan ulang (refarming) agar lebih tertata meski masih dalam kajian menimbang plus-minusnya. Pihak operator juga sangat mengharap pengaturan frekuensi cepat kelar, termasuk menyediakan spektrum LTE. Karena meski masih belum jelas kapan direalisasikan, tetapi kondisi yang ada dianggap sudah waktunya menggelar LTE. “Dalam jangka waktu tak lama, jaringan 3G tidak mampu menanganai pelanggan data yang ada,” ujar Pratignyo A. Budiman, GM Strategic Technology Planning Telkomsel, yang memperkirakan LTE mendesak untuk diimplementasikan di akhir 2012 atau awal 2013. Menurutnya, hal ini tak lepas dari pesatnya perkembangan teknologi yang menuntut kebutuhan data semakin besar.
“Kebutuhan akses berkecepatan tinggi terus meningkat, dengan teknologi yang ada, sulit bagi operator menyediakan layanan dengan baik,” keluhnya. Hal ini menuntut operator menyediakan akses internet berkecepatan tinggi yang memadai. Saat menggunakan bandwidth dan model trafik jaringan yang sama, LTE diklaim 4 kali lebih efisien. Sehingga pengguna bisa mendapatkan layanan data dengan kualitas yang lebih baik. Sementara di sisi operator, biaya operasional jaringan juga jauh lebih efisien. Untuk implementasi, operator dan vendor mengaku telah siap. “Telkomsel memiliki 38 ribu BTS. Dari jumlah tersebut, sebanyak 8 ribu adalah BTS node B untuk 3G yang 50 persen atau 4 ribu sudah siap untuk LTE,” kata Herfini Haryono, Direktur Perencanaan dan Pengembangan Telkomsel. “Tinggal menunggu regulasi saja, jika sudah mendapat ijin makan akan bisa segera diimplementasikan,” kata Herfini. Untuk mendukung broadband termasuk implementasi LTE, Telkomsel menambah investasi yang sebesar 50 persen capek (capital expenditure) dialokasikan untuk jaringan 3G.
Sebagai konsumen, saya senang-senang saja jika operator bisa memberikan layanan yang lebih baik. Karena kualitas yang ada sekarang memang masih belum memuaskan. Saya tidak menuntut untuk akses internet berkecepatan tinggi, tetapi lebih menginginkan layanan yang reliable. Handal dan stabil. Lebih baik kecepatan 100 kbps tetapi cepat dan stabil daripada 10 Mbps tetapi sering down. Semoga koneksi internet semakin membaik. Lebih penting lagi, semoga dengan semakin meratanya akses internet ke masyarakat, bisa meningkatkan kualitas dan taraf hidup masyarakat. Ekonomi menjadi tumbuh, bukan sebaliknya. Karena kalau dengan semakin cepat dan meluasnya internet, tetapi produktivitas dan ekonomi rakyat menurun, maka teknologi telah gagal memberi solusi.
COMMENTS