[caption id=”attachment_504" align=”aligncenter” width=”300" caption=”Seorang pengendara sepeda yang membonceng ibunya”] [/caption...
[caption id=”attachment_504" align=”aligncenter” width=”300" caption=”Seorang pengendara sepeda yang membonceng ibunya”]
[/caption]
Manajemen transportasi yang memadai adalah sebuah keniscayaan bagi kota besar. Karena jika tidak ada tata kelola yang baik, maka akibatnya seperti Jakarta yang semrawut dan macet tiap hari. Saat berkunjung ke China beberapa waktu lalu, saya tertegun dan coba membandingkan dengan kondisi di Jakarta. Bagaimana kondisinya? Apakah lebih baik atau lebih buruk dari Jakarta? Ternyata dua hal ini sama-sama dimiliki. Untuk sistem transportasi, mereka telah melakukan pengelolaan yang maju. Tetapi sebaliknya dari sisi pemakai transportasi khususnya pengendara sepeda dan motor.
[caption id=”attachment_505" align=”aligncenter” width=”237" caption=”Berkendara tanpa helm”]
[/caption]
Saya tertarik memperhatikan perilaku berkendara khususnya sepeda dan sepeda motor yang menurut saya mereka lebih buruk daripada Jakarta. Jarang saya melihat pengendara motor yang memakai helm, ini sangat membahayakan diri. Mungkin mereka masih belum terlalu menghargai kepala. Lampu merahpun sering diterobos.
[caption id=”” align=”aligncenter” width=”500" caption=”Pengendara bersepeda”]

[/caption]
Tetapi berbeda dengan Indonesia, transportasi jenis sepeda motor kurang diminati di China. Jumlah pengendara motor tak seheboh Jakarta, bahkan cenderung sedikit. Mereka lebih suka memakai sepeda atau sepeda listrik. Yang menarik, orang China sangat kreatif. Mereka adalah pehobi modifikasi. Sebagian besar sepeda, sepeda listrik maupun motor dimodifikasi sehingga lebih fungsional. Sering berdecak kagum saat melihat pengendara lewat dengan modifikasi yang unik. Seru juga kalau sepeda-sepeda di sini seperti itu.
Penggunaan sepeda semakin marak karena pemerintah menyediakan jalur khusus sepeda yang besar sehingga nyaman untuk dilalui. Bandingkan dengan Jakarta yang memiliki jalur sepeda di Melawai, Jakarta Selatan, tetapi masih jadi satu dengan jalan raya dan sering dilewati bus kota sehingga kurang nyaman untuk dilalui. Jalur sepeda ini kalau di Jakarta adalah jalur lambat, yakni terletak di sisi paling pinggir jalan raya. Bedanya, jalur lambat di Jakarta dipenuhi oleh bus kota dan sepeda motor. Di China, bus kota tetap berada di jalur utama jalan raya.
Sedikitnya pengendara sepeda motor di China kemungkinan juga ditunjang oleh transportasi umum yang bagus. Mereka memiliki jaringan kereta api yang memadai, bus kota yang nyaman dan airport yang megah. Standard kota besar dunia. Seperti halnya Jakarta, di China khususnya Beijing juga terdapat busway. Tetapi tidak memakai jalur atau koridor tersendiri yang memakan badan jalan, busway di Beijing mengikuti jalan pada umumnya sehingga kendaraan lain tetap bisa melalui. Busway di China memakai tenaga listrik yang diklaim lebih hemat. Ini berpengaruh pada ongkos yang dikenakan kepada konsumen. Menurut tour leader kami, tariff naik busway di China katanya hanya 4 sen atau sekitar Rp 600. Sangat murah jika dibandingkan dengan busway kita yang memberi tariff Rp 3.500 sekali jalan.
Sementara itu untuk kereta api lebih maju lagi. Di perkotaan ada kereta MRT yang cepat dan murah. Sementara untuk menghubungkan antar daerah juga sudah tersedia jalur kereta yang memadai. China termasuk getol dalam membangun jalur kereta api bahkan katanya sudah menghubungkan seluruh propinsi di China. Membuat China memiliki jalur kereta terpanjang di dunia. Mereka juga concern dalam teknologi kereta. Kereta super cepat tidak lagi di Jepang, tetapi China. Saya beruntung telah mencobanya yakni kereta api di Maglev yang diklaim tercepat di dunia dengan kecepatan sampai 431 km/jam. Di sinilah kami mengetes kemampuan teknologi LTE yang diprakarsai oleh Huawei. Dengan jarak sekitar 30 km hanya menempuh waktu 7 menit. Kereta api Maglev memakai teknologi Jerman. Dan dalam waktu singkat, mereka juga telah mengembangkan kereta api super cepat sendiri yang menghubungkan Shanghai dan Beijing. Sayangnya beberapa waktu lalu ada kabar kecelakaan yang menewaskan puluhan orang.
Karena terbatasnya waktu, saya tidak sempat menjajal moda transportasi bus kota dan MRT. Selama lima hari di China, untuk pergi kemana-mana dalam satu kota memakai bus pariwisata yang telah disediakan. Menariknya, bus yang saya tumpangi di Shanghai memakai iPad untuk navigasi GPS dan di Shenzen memakai tablet yang saya lupa mereknya. Keren sekali!
Hanya lima hari di China, sangat kurang apalagi kota yang dituju ada tiga. Sekembalinya ke Jakarta, saya dihadapkan lagi dengan realita kemacetan. Jakarta adalah contoh buruk kota besar yang penanganan transportasinya berantakan. Tiap hari, baik workdays maupun weekend, kemacetan adalah pemandangan yang lumrah. Masalah kemacetan ini sudah berulang kali dimuat di berbagai media massa baik elektronik maupun cetak. Data-data pendukungnya lengkap. Pemerintah bukannya menutup mata mengenai masalah ini, mereka sudah berusaha, tetapi memang sangat lamban. Tidak cepat bereaksi dalam perubahan yang cepat. Angin segar muncul. Pemerintah sedang menggarap mega proyek transportasi massal kereta api MRT (mass rapid transportation). Tetapi sekarang dalam masa-masa awal pembangunan dan kemungkinan baru tahun 2016-an akan rampung. Masih sangat lama. Padahal kemacetan sudah mencapai titik nadir. Selama beberapa tahun ke depan, masyarakat Jakarta masih akan tersiksa dengan kemacetan tiada henti.
COMMENTS