Manipulasi foto dianggap tabu dalam dunia jurnalistik. Tapi, apakah media massa benar-benar bebas dari rekayasa foto? Sebenarnya apa saja b...
Manipulasi foto dianggap tabu dalam dunia jurnalistik. Tapi, apakah media massa benar-benar bebas dari rekayasa foto? Sebenarnya apa saja batasan-batasan pada rekayasa digital pada foto jurnalistik?
[dropcap style=”1" size=”3"]B[/dropcap]eberapa waktu belakangan ini beberapa kasus seputar rekayasa foto digital di media mencuat ke permukaan. Secara umum, yang melakukan rekayasa foto ini ada dua pihak. Pertama, dari pihak nara sumber atau subyek berita terutama kalangan pemerintah yang berkuasa untuk pencitraan. kedua, dari pihak penerbit atau media massa agar foto yang ditampilkan terlihat lebih bagus.
Dari pihak nara sumber, ada beberapa kasus yang menarik. Diantaranya yang belum lama ini santer adalah ketika prosesi pemakaman mendiang Presiden Korea Utara, Kim Jong-Il. Korean Central News Agency merilis foto arak-arakan pemakaman yang terlihat berbaris sempurna. Foto tersebut dikirim ke agensi foto pers Eropa yaitu AFP dan Reuters. Kedua agensi berita inipun langsung mempublikasikan foto tersebut, begitu juga dengan New York Times. Hingga tak lama berselang, foto yang diambil dari angle sama dirilis oleh agensi berita Jepang, Kyodo News, dan didistribusikan oleh Associated Press. AP kemudian menghubungi NYT untuk mewaspadai adanya manipulasi foto. NYT kemudian meminta pakar digital forensik Hany Farid dari Dartmouth College, untuk menganalisis. Hasil analisisnya menyebutkan kalau foto yang dirilis agensi berita Eropa tersebut telah direkayasa dengan Photoshop untuk menghilangkan gambar seorang lelaki di luar barisan agar terlihat sempurna. Setelah mengetahui hal itu, AFP dan Reuters-pun mencabut foto tersebut.
Mengapa Korean Central News Agency sampai melakukan rekayasa foto? Korea Utara adalah negara komunis yang melakukan kontrol ketat di setiap lini, termasuk media. Tak heran jika Korean Central News Agency sebagai corong pemerintahan Korea Utara melakukan rekayasa foto. kasus rekayasa foto juga terjadi beberapa bulan sebelumnya, yaitu pada pertengahan Juli 2011. Agensi berita Korea Utara tersebut merilis foto bencana banjir yang telah direkayasa dan didistribuskan oleh AP. Meskipun tidak ada foto pembanding, tetapi analis mempertanyakan akurasi gambar karena terlihat keanehan pada warga yang berjalan dalam kondisi banjir, pakaiannya tidak terlihat basah.
Negara berhaluan komunis lainnya, yaitu China, juga melakukan rekayasa foto sebulan sebelumnya (Juni 2011). Ceritanya adalah saat beberapa pejabat Pemerintah daerah Huili sedang memeriksa jalan rusak. Seorang pekerja yang menyertai mengambil beberapa foto untuk dokumentasi. Tapi ketika akan dipublikasikan, pekerja memutuskan untuk mengganti latar belakang asli agar terlihat sangat baik. Caranya dengan meng-crop gambar pejabat dan memasukkan pada latar belakang berbeda. Mungkin karena yang mengolah foto masih amatir, hasilnya malah terlihat aneh. Para pejabat tersebut seperti melayang (levitation) tidak menginjak bumi. Tak lama kemudian, foto tersebut ramai menjadi gunjingan pengguna internet di China, bahkan dibuat parodinya. Pemerintah Huili pun menghapus semua informasi yang relevan, menegur pekerja yang menangani foto dan mengeluarkan permintaan maaf pada Forum Tianya dan Weibo Sina.com.
[caption id=”attachment_1570" align=”aligncenter” width=”520" caption=”Foto parodi pejabat Huili”]
[/caption]
Itu hanya sedikit contoh narasumber yang melakukan rekayasa foto demi pencitraan, masih banyak lagi kasus serupa kalau telaten mencarinya. Sekarang beralih ke pihak penerbit atau media massa. Salah satu kasus yang mengemuka adalah saat Washington Post pada 13 Januari 2012 yang lalu, menampilkan foto 14th Street Bridge pada halaamn utama untuk mengenang 30 tahun tragedi kecelakaan Air Florida Flight 90. Foto memperlihatkan suasana jembatan saat sunset dengan pesawat yang berada di sebelah kiri atas frame. Untuk menampilkan gambar yang bagus tersebut, staff fotografer Bill O’Learry menggunakan teknik High Dynamic Range (HDR) untuk mengolah foto. Fakta tersebut didukung oleh pencantuman informasi penggunaan teknik pada bagian caption bertuliskan ‘This image is a composite created by taking several photos and combining them with computer software to transcend the visual limitations of standard photography’. Kontroversipun timbul. Apakah penggunaan foto HDR tepat untuk ilustrasi berita?
[caption id=”attachment_1571" align=”aligncenter” width=”650" caption=”Foto di halaman utama Washington Post yang memicu kontroversi”]
[/caption]
Sean Elliot, presiden National Press Photographers Association (NPPA) dengan tegas menolaknya. “HDR tidak sesuai untuk dokumentasi foto jurnalistik,” kata Elliot yang mengacu pada kode etik NPPA. Menurutnya, fotografer harus menghormati integritas mengenai momen digital. Foto HDR dianggapnya tidak berbeda dengan manipulasi digital lainnya. Kepada Poynter, Elliot mengatakan kalau dengan menggunakan HDR, Washington Post telah mengombinasikan momen berbeda, membuat gambar yang sebenarnya tidak ada pada kenyataan.
Di sisi lain, John Omvik, V.P. Marketing, Unified Color Technologies, tidak setuju dengan pendapat Elliot dan pandangan NPPA. HDR dianggapnya melakukan pekerjaan yang paling akurat merekonstruksi jangkauan dinamis dari gambar aslinya pada saat foto itu diambil. “Dari saat Anda membuka mata di pagi hari sampai menutup mata di malam hari, Anda bisa lihat dunia sekitar dengan HDR,” ujarnya. Menurutnya, tidak ada kamera digital ataupun film yang secara akurat dapat mereproduksi sistem seperti penglihatan manusia dalam menangkap dan memproses gambar secara real time.
Jika Washington Post dengan sengaja melakukan manipulasi foto, beda halnya dengan yang menimpa koran Sacramento Bee. Perusahaan media ini merasa kecolongan karena salah satu fotografernya, Bryan Patrick telah melakukan rekayasa foto. Mengetahui masalah ini, dengan tangkas Sacramento Bee melakukan ralat dan permohonan maaf. Bahkan melakukan tindakan ekstrim yaitu memecat Bryan Patrick. Pihak Bee menyatakan etika kebijakan perusahaannya dengan tegas melarang manipulasi seperti foto-foto dokumenter. Hal ini dianggap sebagai pelanggaran terhadap nilai-nilai inti perusahaan, karena salah mengartikan keakuratan momen.
— —
Dari beberapa kasus di atas, terlihat bahwa rekayasa foto jurnalistik memancing pro dan kontra. Pihak yang berkepentingan demi pencitraan, estetika atau hal lainnya akan melakukan manipulasi atau rekayasa foto. Ada juga pihak yang kontra atau tidak setuju dengan rekayasa digital pada jurnalistik.
Tetapi apakah dunia jurnalistik secara umum benar-benar bebas dari rekayasa? Kalau boleh jujur, hanya sedikit media yang benar-benar netral dan independen. Selalu ada kepentingan dibaliknya. Artikel yang dibuat oleh reporter mungkin apa adanya, tetapi ketika sampai ke tangan pembaca belum tentu seperti itu. Bisa juga reporter disuruh untuk menulis sesuai dengan angle yang diminta karena maksud tertentu. Fakta bisa digunakan untuk menggiring suatu opini.
Dalam fotografi jurnalistikpun, sang pewarta foto seringkali mengatur subyek atau narasumber agar tampil sesuai dengan yang diharapkan. Pada kamera diatur bokeh, white balance, kemudian dicrop, dibuat black and white dan sebagainya. Seringkali fotografer memotret tidak apa adanya. Hal ini sudah biasa dilakukan. Secara umum pengaturan pada tingkat sederhana seperti perbaikan cahaya, pengubahan menjadi black and white, dan cropping masih dianggap wajar. Walaupun ini juga sudah masuk dalam ranah rekayasa digital. Bagian inilah yang kadang membingungkan karena batasan-batasan yang kurang tegas.
NPPA pada halaman kode etik menyebutkan editing harus mempertahankan integritas konten gambar foto dan konteks. Kemudian jangan memanipulasi gambar atau menambahkan atau mengubah suara dengan cara apapun yang dapat menyesatkan pemirsa atau tidak menggambarkan subyek. Kalau mengacu pada hal itu, yang dilakukan Bill O’Learry dari Washington Post tidak menyalahi kode etik. Tergantung dari sudut mana menafsirkannya. Jika masuk golongan garis keras, maka segala macam rekayasa digital apapun bentuknya tidak dihalalkan. Jika golongan moderat, maka masih memperbolehkan rekayasa digital sampai batas tertentu sepanjang tidak mengubah makna atau tampilan foto secara keseluruhan. Tapi jika golongan bebas, ya terserah saja.
Kalau menurut Anda, bagaimana?
COMMENTS